FUNGSI DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA
A. Fungsi Hidup Manusia
Manusia Sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di
dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas
dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini
adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia
di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam
rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai
kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh
khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia melaksanakan
ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai kesenangan
dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan
mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada
Surah Al-Baqarah ayat 30:
“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Khalifah adalah seseorang yang
diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika
manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas
tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama
manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita
sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas
dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan
lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya
itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada
satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu
manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh
atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi
khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita
dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini
adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim
ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang
berada di dalam rahim itu tidak beribadah?
Pada dasarnya, semua makhluk Allah
di atas bumi ini beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu
adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati
wama fil ardh.
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan
sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan cara bertasbih. Dalam
hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai dengan
kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke
dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan
“Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku,
baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku
sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau
sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia
itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan ditiupkan, maka Allah
menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai Tuhan. Jadi, janin
tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada Allah. Tidak
ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan
dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga
akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah, maka
takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah
adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari kehidupan kita ini
harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh Allah di
dalam firman-Nya:
Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa
li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin
kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita
sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah
itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan ibadah sekunder
(ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung, sedangkan
ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang meninggalkan
ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi yang
melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah
mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu
mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut,
antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah
yang paling banyak dilakukan dalam keseharian kita. Dalam kondisi tertentu,
ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah mahdhah. Nabi
mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia
makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal
ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita
mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut
menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu mengingat
makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita memang sedang lapar.
B.
Tujuan Hidup Manusia
Ibadah
Tujuan ibadah ada dua (baik itu
ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
1. Untuk mencapai kesenangan hidup di dunia.
2. Untuk mencapai ketenangan hidup di
akhirat.
Atau secara sederhananya yaitu untuk
mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan
dunia kita lakukan tak lain adalah untuk meraih kesenangan dan ketenangan
akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan mendapatkan
uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan
juga akan semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah,
misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.
Rasulullah mengatakan, “Orang yang
paling gampang masuk surga adalah orang kaya yang mau bersedekah.”
Mendengar itu, seorang sahabat
berkata, “Ya Rasul, bagaimana kalau saya ini tidak kaya?”
Rasulullah kemudian menanyakan
kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu memiliki kurma?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat
tersebut.
“Kalau kamu memang memiliki kurma,
maka bagi dua-lah kurma tersebut. Setengahnya sedekahkan kepada orang lain,
sedangkan setengahnya lagi untukmu. Setengah yang kamu bagikan kepada orang
lain tersebut akan mengantarkan kamu untuk masuk surga bersama orang kaya yang
suka bersedekah,” perjelas Rasulullah kepada sahabat tersebut.
Lalu ada lagi sahabat yang bertanya
ketika itu, “Ya Rasul, saya tidak kaya dan tidak punya kurma. Kalau seperti
ini, berarti saya susah masuk surga?”
Lalu Rasulullah bertanya kepada
sahabat tersebut, “Apakah kamu mempunyai air satu gelas?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat
tersebut.
“Kalau begitu, yang satu gelas
tersebut kamu bagi dua. Setengahnya untuk kamu, sedangkan setengahnya lagi kamu
sedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Maka setengah yang kamu
sedekahkan kepada orang lain itu akan mengantarkan kamu masuk surga bersama
orang yang punya kurma yang dibagi dua tadi, dan juga bersama dengan orang kaya
yang suka bersedekah.”
Lalu ada lagi yang bertanya, “Ya
Rasul, saya ini tidak kaya, tidak punya kurma, dan juga tidak punya air satu
gelas. Kalau begitu saya ini akan susah masuk surga?”
Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Kalau
kamu tidak mempunyai ketiga-tiganya itu, maka sedekahkanlah kepada saudaramu
kalimat-kalimat yang baik, nasihat-nasihat yang baik, serta ucapan-ucapan yang
baik.”
Nabi juga pernah mengatakan, “Hak
seorang muslim itu adalah untuk didatangi pada saat ia sakit.” Jika itu adalah
hak seorang muslim, maka muslim yang lainnya berkewajiban untuk mendatangi
muslim yang sedang sakit tersebut.
Lalu Nabi juga pernah mengatakan,
“Ketika kalian mendatangi orang yang sedang sakit, coba usap-usaplah dia dengan
mengatakan, bersabarlah, karena ini ujian Allah.” Jadi, kita tidak perlu merasa
berat untuk mendatangi dan menjenguk orang yang sedang sakit jika kita sedang
tak memiliki apa-apa. Karena kita menjenguknya itu dalam rangka “kalimat thayyibah”
kepada mereka yang sakit itu. Patut juga diketahui, kadang kala orang yang
sakit itu kemudian menjadi sembuh lebih dikarenakan motivasi dari orang-orang
yang ada di sekitarnya.
Semua kenikmatan itu diberikan oleh
Allah karena kita diberikan kedudukan sebagai khalifatullah. Khalifatullah yang
sangat efektif adalah khalifatullah yang menyadari dirinya, bahwa semua
kenikmatan yang ada sekarang ini adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah,
dan kita mensyukurinya hanya dengan jalan beribadah kepada-Nya.
Ibadah itu
pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:
1.Membina diri dengan baik.
Jika orang beribadah, tapi dirinya
tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering
datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah. Ini
berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah.
Mendidik dirinya itu adalah dalam
rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan
Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah
ibadah, maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan,
kita mengetahui bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang
hal tersebut kita ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah
itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika
seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita dalam rangka
mencapai ibadah.
2. Dalam rangka mensucikan diri kita.
Mensucikan diri yang dimaksud adalah:
a) Mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor.
b)
Mensucikan diri dari
perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan
perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan
kita hilangkan dari diri kita sendiri.
c)
Membersihkan diri dari
perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah
melakukan perbuatan dosa, maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan
beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.
3. Mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi
diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
Ibadah itu pada hakikatnya adalah
untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri. Di dalam kehidupan kita
sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama,
ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.
Yang harus dijaga tersebut ada empat hal:
1.Menjaga hubungan baik dengan diri sendiri.
2.Menjaga hubungan dengan sesama manusia.
3.Menjaga hubungan dengan lingkungan.
4.Menjaga hubungan dengan Allah.
Yang harus dihindari tersebut juga
ada empat hal yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia,
terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.
Kesimpulan
Jika kita sudah menyadari bahwa diri
kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian penciptaan kita itu adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah, semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka menjaga
empat hubungan tadi dan menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut
menjadi manusia yang muttaqin sejati.
Jadi, kalau kita ingin mendapatkan
predikat orang yang bertaqwa sejati, maka sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah
yang harus kita laksanakan. Orang yang bertakwa secara sejati, maka akan ada
keseimbangan di dalam hidupnya. Dia selalu menjaga hubungannya dengan dirinya,
dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya.
Kalau manusia sudah seperti itu,
pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di dalam tasawuf,
manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil, yaitu manusia yang
sudah mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai derajat Rasulullah Muhammad
SAW. Derajat para Nabi yang dimaksud adalah derajat dalam hal amal ibadah,
bukan sebagai Nabinya.
Semoga kita menjadi manusia yang
menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, dan juga sebagai hamba yang harus
beribadah kepada-Nya, dan kita bercita-cita agar kita menjadi manusia yang
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.