” SKANDAL WorldCom, MENGGUNCANG
PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT ”
Belum hilang kekagetannya, publik
dikejutkan dengan rentetan skandal yang makin merusak kepercayaan masyarakat
terhadap dunia pasar modal. Mulai dari skandal Enron, Tyco International,
Global Crossing, Xerox, Merck & Co., Stanley Works, ImClone, hingga
puncaknya penipuan laporan keuangan oleh WorldCom Inc. (yang seperti juga
Enron, melibatkan auditor beken Arthur Andersen LLC). Bahkan, efek kerugian
yang ditimbulkan WorldCom, raksasa industri telekomunikasi dan salah satu
penyedia layanan Internet (ISP) terbesar di dunia, lebih dahsyat dari Enron,
yakni menguapkan uang sejumlah US$ 175 miliar kekayaan investor publik. Cukup
dimaklumi karena harga selembar saham WorldCom per juni 1999 mencapai puncaknya
sebesar US$ 64,50 langsung merosot tajam menjadi US$ 0,83 per juni 2002. akibat
pengungkapan skandal tersebut, saham WorldCom langsung ambruk seketika yang
menyebabkan sejumlah perusahaan sekuritas dan Komisi Bursa Efek menimpakan
tuduhan penipuan terhadap WorldCom. Lantas, atas kejadian tersebut sejumlah
politikus dan investor bertanya-tanya, apakah dengan adanya kejadian tersebut
akan menimbulkan gangguan terhadap akses internet mengingat WorldCom merupakan
salah satu industri telekomunikasi dan salah satu penyedia layanan Internet
(ISP) terbesar di dunia bahkan menampung 50 persen menampung traffic internet
AS, termasuk 70 persen dari seluruh email yang dikirim ke AS, serta setengah
email yang dikirim ke dunia dan juga ribuan perusahaan di 100 negara saat ini
juga bergantung pada akses internet World Com, termasuk Departemen Pertahanan
dan Departemen Dalam Negeri AS sendiri. Tetapi menurut CEO WorldCom John
Sidgmore menyatakan dirinya berharap dengan kejadian tersebut perusahaan tidak
akan mengalami kebangkrutan dan juga tidak akan mempengaruhi terhadap layanan
akses internet itu sendiri.
Kehancuran WorldCom sebenarnya juga
karena kerapuhan kondisi finansialnya. Untuk menutupi defisit kasnya, manajemen
WorldCom memanipulasi laporan keuangan, sehingga kinerjanya jadi kelihatan
cantik. Caranya sebenarnya terbilang elementer (tapi tampaknya ditutup-tutupi
oleh akuntannya, Arthur Andersen), yakni dengan menyulap biaya sewa yang
seharusnya merupakan biaya operasional rutin yang akan mengurangi pendapatan pada
tahun yang sama menjadi biaya investasi, sehingga bisa disebar untuk jangka 10
tahun. Biaya yang disulap oleh WorldCom per kuartalnya sebesar US$ 500-800
juta. Dengan manipulasi data seperti ini, WorldCom bisa melaporkan laba bersih
US$ 1,4 miliar pada kuartal I/2001 dan US$ 172 juta pada kuartal I/2002.
Padahal, kalau manajemen WorldCom melaporkan apa adanya, selama lima kuartal
rapornya akan merah. Inilah informasi yang menyesatkan para investor dan
kreditor.
Selepas pelengseran Bernard J.
Ebbers (pendiri WorldCom) sebagai CEO, penggantinya John Sidgmore menyewa
akuntan baru, KPMG, untuk meneliti kejanggalan keuangan WorldCom. Dengan
gampang kemudian diketahui, bahwa Scott D. Sullivan, CFO WorldCom, dengan
sengaja telah memasukkan US$ 3,85 miliar (dari total biaya sewa jaringan yang
pada 2001 saja mencapai US$ 8,12 miliar) ke pos yang tak seharusnya. Sang CFO
pun langsung dipecat. Akan tetapi, investor publik dan kreditor telanjur
kehilangan dana besar, sekaligus makin memupuskan kepercayaan publik.
Satu lagi penyebab yang menonjol
terhadap peristiwa WorldCom adalah adanya sifat keserakahan pada Bernard J.
Ebbers ( pendiri WorldCom ) hal itu terlihat ketika meminjam uang perusahaan
untuk memborong saham WorldCom (yang diyakininya akan terus naik) dengan mekanisme
transaksi margin yang akhirnya pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan
Ebbers.
Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa Saham di Amerika. Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih lanjut peran eksekutif perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment banker, investor, dan regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan.
Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa Saham di Amerika. Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih lanjut peran eksekutif perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment banker, investor, dan regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan.
Salah satu sebab utama dari
kebangkrutan WorldCom adalah sikap serakah dari eksekutif senior yang didukung
oleh sistem insentif kompensasi yang keterlaluan. Insentif yang dimaksud adalah
sistem stock option yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari perusahan
yang mereka kelola. Sering kali jauh di bawah harga pada waktu itu. Sistem ini
menyebabkan eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari
perusahaan. Meningkatkan nilai perusahaan memang telah menjadi kredo bagi para
ekseutif, tetapi sayangnya meningkatkan harga saham kadang-kadang dilaksanakan
dengan cara yang tidak etis dan sering kali melanggar aturan atau hukum.
Perusahaan menjadi cenderung memalsukan atau memberikan keadaan keuangan yang
tidak akurat dan dibesar-besarkan asalkan harga saham mereka terus naik.
Sebab lain dari kegagalan adalah
kurangnya independensi akuntan dan analis keuangan. Ketidakakuratan dari
data-data keuangan sering kali juga tidak ”tertangkap” oleh tim audit. Dalam
hal ini, kredibilitas akuntan menjadi pertanyaan. Tidaklah mengejutkan bila hal
ini sampai terjadi. Soalnya, dalam banyak kasus, perusahaan akuntan yang
melakukan audit pada saat yang bersamaan juga memberikan jasa konsultasi kepada
perusahaan tersebut. Ketakutan akan kehilangan account yang penting sering kali
membuat tim audit tidak membeberkan indikasi terjadinya ketidakwajaran dalam
pembukuan.
Institusi keuangannya di Amerika
sering kali menguliahi negara-negara Asia semasa krisis keuangan melanda Asia
tentang corporate governance dan transparansi yang buruk. Namun, kasus yang
melanda Enron benar-benar menunjukkan lemahnya corporate governance dari
perusahaan di AS. Pada awal krisis Enron, banyak pihak yang mengatakan bahwa
Enron merupakan pengecualian. Namun, timbulnya skandal akuntansi baru yang
melibatkan Worldcom dan Global Crossing membuktikan bahwa masalah ini cukup
mewabah di perusahaan Amerika.
Sebagai solusinya untuk mengatasi
hal tersebut, Pemerintah Amerika Serikat telah mengambil beberapa langkah untuk
memperbaiki transparansi ini dengan, antara lain, meminta sertifikasi dari CEO
dan CFO tentang akurasi data keuangan. Caranya, Pemerintah AS menetapkan
tanggal 14 Agustus 2002 kepada 1.000 perusahaan publik teratas di Amerika untuk
mendapatkan sertifikasi dari CEO dan CFO tentang keakuratan dan reliabilitas
dari laporan keuangan.
Apabila perusahaan tersebut terbukti
melakukan praktik penyelewengan akuntansi sesudah 14 Agustus, maka pejabat
tinggi perusahaan tersebut dapat dituntut secara personal. Dengan adanya
tenggat ini tentu saja dapat diperkirakan akan lebih banyak 1.000 perusahaan
teratas di Amerika yang membuka borok-boroknya. Mungkin hal ini makin
memperburuk kinerja saham-saham di Wall Street. Tetapi, dengan tindakan ini,
sebenarnya Pemerintah AS akan mempersingkat masa krisis dan dapat dengan cepat
memulihkan kepercayaan investor.
Dari cerita tersebut, menurut
pendapat saya yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat sudah cukup bagus
dengan meminta sertifikasi dari CEO dan CFO tentang akurasi data keuangan,
tetapi yang perlu diperhatikan juga pada masalah ini adalah adanya sikap serakah
dari eksekutif senior dimana pada pemerintah negara Amerika Serikat terdapat
kebijakan sistem stock option yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari
perusahan yang mereka kelola. Sehingga dikhawatirkan dengan adanya sistem ini
menyebabkan eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari
perusahaan yang kadang-kadang dilaksanakan dengan cara yang tidak etis dan
sering kali melanggar aturan atau hukum.
Sedangkan untuk akuntanya sendiri
yang disini pihak WorldCom memakai Arthur Andersen yang menurut sumber Accounting
Today pada buku Auditing karya Alvin A. Arens menyebutkan bahwa Arthur
Andersen masuk ke dalam urutan ke lima dalam ” The Big Five ” yaitu
perusahaan-perusahaan yang berada pada lima urutan pertama dan juga merupakan
lima perusahaan akuntan publik terbesar di Amerika Serikat. Dan pada masalah
ini sebaiknya yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serika segera
melakukan tindakan tegas dengan membekukan akuntan kantor akuntan publik Arthur
Andersen karena Arthur Andersen sendiri sebelum terkuak peristiwa skandal
WorldCom juga pernah terlibat dalam skandal Enron yang menguapkan sebesar US$
miliar kekayaan investor publik.